Selasa, 12 Februari 2008

PERENCANAAN EFEKTIF : 80% EKSEKUSI

Bulan-bulan menjelang akhir tahun, apalagi kegiatan yang paling menyita waktu, kalau bukan aktivitas perencanaan bisnis tahunan? Perencanaan bisnis inilah yang akan dijadikan dasar untuk mengeksekusi setiap langkah operasi perusahaan di tahun yang akan datang. Namun, komentar seorang kolega sangat menarik perhatian saya. ”Sebentar lagi tempat saya mau lakukan annual planning lagi! Saya bingung, hasil planning tahun lalu saja belum dikerjakan, sudah mau bikin mimpi baru lagi. Cape deh...”, tuturnya menyeringai sambil membenturkan punggung tangan ke dahinya yang lebar.

Saya yakin bahwa apa yang dikeluhkan sang teman bukanlah gejala yang khas terjadi di organisasi tempatnya bekerja saja. Apa yang direncanakan berbeda jauh alias ”gak nyambung” dengan apa yang dilakukan. Rencana dibuat bagai mimpi tak berpijak di bumi, sehingga orang merasa sah-sah saja bila tak mampu menggenapinya secara nyata. Kalaupun terjadi kegagalan ataupun penundaan eksekusi rencana yang telah dibuat, umumnya orang sudah siap dengan segudang alasan untuk membela diri.

Lembar rencana kerja sendiri hanyalah berkas agenda yang tak ada manfaat nyata, apabila proses perumusannya tidak dilakukan dengan benar. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika guru manajemen, Peter Drucker, berkata ”Plan is worthless, but planning is invaluable”. Dalam bukunya yang bertajuk Getting Result (2001), Clinton O. Longenecker dan Jack L. Simonetti mengungkapkan beberapa kekeliruan yang lazim terjadi dalam proses perencanaan, yang membuat kegiatan itu berujung sekedar sebuah ”plan”, bukannya ”planning”. Saya akan memfokuskan kepada tiga faktor saja, yang diringkas dengan istilah : ketidak-seriusan, ketidak-pedulian dan ketidak-cermatan.

Ketidak-seriusan muncul tatkala kita membuat rencana untuk keperluan formalitas saja, yakni semata untuk memenuhi kalendar kerja rutin belaka. Yang penting ada berkas rencana kerjanya secara fisik, kalau perlu dijilid dengan sampul tebal yang mewah. Urusan isi menjadi perkara yang tak penting, dan jika perlu tinggal copy-paste dari berkas tahun sebelumnya, dengan penyesuaian seadanya terhadap angka-angka yang dicantumkan. ”Buat apa berpikir keras, toh pada saat eksekusi di lapangan semuanya juga pasti berubah lagi!”, demikian seloroh yang sering kita dengar untuk menjustifikasi sikap ketidak-seriusan ini.

Ketidak-pedulian muncul tatkala pihak yang menyusun rencana berbeda pihak yang akan mengeksekusinya. Tuntutan pekerjaan yang bersifat lintas-fungsi, seringkali menyebabkan lahirnya ”joint-plan” atawa rencana-bersama. Sebagai misal, bisa saja bagian pemasaran ikut terlibat dalam penetapan rencana produksi, dan sebaliknya bagian produksi juga bisa mempengaruhi rencana kerja bagian pengadaan-bahan (procurement). Atau, bisa juga terjadi saat seorang atasan secara sepihak menetapkan rencana kerja kepada anak-buahnya. Ketika seseorang tidak merasa menjadi bagian langsung dari rencana yang dibuat, acapkali muncul pikiran semena-mena. ”Buat apa kita pusing-pusing, toh yang akan menjalani orang lain. Dia donk yang nanti harus memikirkan detailnya”, begitu kira-kira isi pikiran para perencana yang tidak peduli ini.

Sementara, ketidakcermatan hadir saat perubahan berjalan begitu cepat dan luput dari pengamatan kita. Akibatnya, rencana kerja di buat di atas landasan asumsi yang rapuh dan data yang tidak akurat. Arus perubahan yang cepat menuntut seorang perencana harus senantiasa melakukan pembaharuan atas asumsi dan data yang digunakan. Jika tidak, proses perencanaan yang terjadi tidak akan menghasilkan arah bagi langkah perusahaan di masa yang akan datang, melainkan sekedar melahirkan catatan sejarah masa lampau yang tak bermakna.

Lebih jauh, Longenecker dan Simonetti juga mengingatkan bahwa proses perencanaan yang efektif semestinya mengikuti alur : ready, aim dan fire. Ready menunjukkan kesiapan kita, bukan saja untuk menyusun, namun terlebih-lebih untuk ”menghayati dan menghidupi” rencana yang dibuat. Aim, menunjukkan kejelasan kita dalam menetapkan sasaran atau tujuan yang akan kita capai. Dan, Fire menunjukkan kemampuan kita untuk menjabarkan langkah-langkah konkret yang diperlukan untuk menggapai sasaran tersebut. Banyak proses perencanaan yang dijalani dengan langsung meloncat kepada perumusan sasaran (aim) dan penjabaran langkah-tindakan pencapaiannya (fire), tanpa membangun kesiapan (ready) untuk menjalankannya. Wacana kesiapan ini seringkali kita kenal dengan istilah ”komitmen".

Filosofi manajemen Jepang percaya bahwa ”effective planning is 80% execution”. Artinya, proses perencanaan yang efektif sebenarnya telah membantu anda mencicil proses eksekusinya, bahkan hingga tahapan 80%. Namun, itu hanya berlaku jika proses perencanaan itu dilandasi oleh readiness ataupun komitmen pelaksanaan yang tinggi. Kalau tidak, ya…akan muncul kembali keluhan sang teman di awal tulisan ini, “planning lagi…planning lagi! Cape deh!”

Tidak ada komentar: