Selasa, 12 Februari 2008

DREAM IS GOOD, BUT…

Banyak orang-orang hebat di muka planet ini yang mengajak orang untuk berani “bermimpi” (dream). Bung Karno senang sekali berseru kepada kaum muda bangsa ini untuk menggantungkan cita-cita di langit yang tinggi. George Bernard Shaw pun menantang nyali orang untuk bermimpi dengan bertutur “You see things and say “why”? But I dream things that never were and say “why not”?”. Bahkan, Walt Disney lebih gagah lagi dengan keyakinannya bahwa “if you can dream it, then you can do it!”.

“Mimpi membuat orang terbang ke langit, namun mimpi juga yang menghempaskan orang dari pijakannya di bumi”. Kalimat terakhir ini memang bukan datang dari orang-orang hebat nan akbar seperti di atas, namun meluncur dari mulut seorang sahabat tua yang rendah hati nan bijak. Ia bersedih hati melihat sinetron-sinetron di televisi nasional, yang baginya hanya sekedar menjual mimpi. Sinetron begituan sama sekali tidak mendidik, karena membuat orang kehilangan kontak dengan dunia nyata. Apa yang terjadi setelah orang menyaksikan kisah maya demikian? Karena ingin gampang memiliki rumah megah, mobil mewah dan uang berlimpah seperti yang dilukiskan dalam cerita, orang terkondisikan untuk berpikir instan dan menempuh jalan pintas. Atau juga sebaliknya membuat orang menjadi frustrasi – bahkan setengah gila-, karena merasa telah membanting-tulang sekuat tenaga, namun tidak pernah sedikitpun mencicipi kemewahan dan kenyamanan yang disodorkan oleh cerita teve tersebut. Singkat kata, ternyata mimpi bisa memupuk kekecewaan sekaligus menggerus kebahagiaan seseorang.

Sahabat tua itu melanjutkan, kunci kebahagiaan terletak pada “enjoying what we have”, bukannya melulu “wanting what we don’t have”. Maka, tidaklah mengherankan kalau kita melihat ada orang-orang biasa dengan pekerjaan, penghasilan dan gengsi hidup yang pas-pasan, bisa menghiasi wajahnya dengan senyum yang sumringah. Dan jangan bingung juga, kalau ada orang yang begitu terhormat, kaya dan berpangkat-tinggi, malah menampakkan wajah yang kusut dan murung. Bukankah ini berarti kebahagiaan itu dekat dengan orang yang mengakrabi kenyataan dirinya, sebaliknya menjauh dari orang yang terobsesi memburu mimpi tanpa batas?

Memadukan “kenyataan” dan “mimpi” adalah paradoks yang penuh dinamika. Kita butuh kedua-duanya untuk mendapatkan ketenteraman sekaligus juga meraih kemajuan. Pada dasarnya, yang membedakan “mimpi yang aspiratif” dan “mimpi yang delutif” (wishful-thinking) adalah kesanggupan kita untuk membentangkan jalan penghubung bagi kedua paradoks tersebut. Para pakar organisasi seringkali menyebut “mimpi” sebuah organisasi sebagai visi. Sementara jalan yang menghubungkan antara kenyataan saat ini dan visi di masa mendatang dinamai pula strategi. Tak kalah pentingnya, organisasi juga membutuhkan energi untuk mengeksekusi strategi, yang kita kenal dengan istilah komitmen.
Sekedar memiliki visi, tanpa diikuti strategi dan komitmen, ibarat pemimpi yang mabuk ilusi. Sementara mempunyai strategi, tanpa dilengkapi visi dan komitmen, layaknya intelektual tanpa orientasi. Dan jika hanya bermodalkan komitmen, tanpa tuntunan visi dan strategi, bak kuli yang hanya bisa sibuk di sana-sini.

Banyak perusahaan - terutama organisasi besar - gagal meraih mimpi, bukan karena ketidakcemerlangan visi ataupun ketidakcanggihan strategi. Namun, yang terjadi seringkali adalah kendor dalam perkara komitmen. Termasuk di dalamnya, komitmen hati (yang disebut motivasi) dan juga komitmen tindakan (atau disebut aksi). Dr. Mehmet Oz – ahli bedah jantung dan penulis buku kesehatan yang sangat terkenal di Amerika – mempunyai pandangan yang menarik tentang hubungan motivasi dan aksi. Banyak orang yang berpikir bahwa untuk melakukan sebuah aksi, seseorang terlebih dahulu harus memupuk motivasi yang kuat di dalam dirinya. Dengan kata lain, harus ada motivasi yang mendahului sebuah aksi. Namun pada kenyataannya, tak jarang motivasi muncul, justru setelah seseorang melakukan sebuah aksi. Artinya, sebuah aksi pun bisa mendahului munculnya motivasi.

Saya membuktikan kebenaran pendapat Dr. Oz melalui pengalaman seorang teman yang mendapat penugasan yang sangat berat dari perusahaan. Awalnya, sang teman tidak percaya bahwa ia bisa menggenapi tugas tersebut, dan oleh karenanya ia beranjak melakukannya dengan rasa malas dan terpaksa. Namun dalam perjalanannya, muncul kemajuan-kemajuan nyata yang tak diduganya sama sekali. Kemajuan-kemajuan kecil itulah yang secara perlahan namun pasti, melahirkan dan semakin menguatkan motivasinya untuk melanjutkan tugas. Dan akhirnya, ia memang betul-betul dapat mentuntaskan tugasnya dengan sempurna. Aksi dan motivasinya seolah saling-menggulung satu sama lainnya, sehingga menciptakan “bola-salju komitmen” yang semakin besar dan besar.

Hanya dengan membangun motivasi dan aksi secara bersama-sama, kita dapat mewujudkan mimpi menjadi kenyataan. Karena, seperti bunyi iklan sebuah bank besar, “dream is good, but reality is better”.

BENCHMARKING : BUKAN KUNJUNGAN WISATA

Ada istilah yang lazim kita dengar dari kalangan aparat pemerintah dan anggota parlemen, yakni studi banding. Entah sudah berapa banyak uang rakyat yang dibelanjakan untuk kegiatan bertajuk ”studi banding” itu, tanpa rakyat mengerti apa manfaat dan hasil yang dapat dipetik darinya. Di dalam dunia usaha, ada istilah dan aktivitas serupa ”studi banding” yang lazim disebut benchmarking. Mulai akhir 1990-an hingga saat ini, benchmarking seolah-olah menjadi sarapan wajib bagi perusahaan yang ingin maju dan berdaya-saing tinggi. Setiap kali ada hal baru yang hendak digarap, selalu diserukan agar dilakukan benchmarking ke perusahaan lain yang sudah berpengalaman terlebih dahulu. Sama halnya, setiap kali ada perusahaan yang sukses dalam menjalankan sebuah inisiatif dan meluncurkan suatu produk, perusahaan-perusahaan lainnya beramai-ramai ingin melakukan benchmarking ke sana.

Apa sebenarnya benchmarking, hingga saat ini menjadi salah-satu mantra sakti bagi kebanyakan organisasi modern? Ternyata, istilah yang awalnya diperkenalkan oleh para penggiat manajemen mutu (quality management) tersebut memiliki definisi yang begitu bervariasi, tergantung referensi mana yang anda baca. Namun, semua ragam definisi tersebut bersepakat bahwa tujuan utama benchmarking adalah ”learning from others” atawa ”belajar dari organisasi lain”. Hampir semua perusahaan Fortune-500 melakukan benchmarking untuk menjaga dan meningkatkan daya-saingnya. Salah-satu cerita sukses benchmarking kelas dunia yang menjadi ilham bagi perusahaan-perusahaan lainnya untuk melakukan hal yang sama adalah Xerox Story. Perusahaan mesin fotokopi yang begitu berjaya dan menikmati monopoli bisnis pada era 1960-70an, telah berkembang menjadi organisasi yang gemuk, lamban sekaligus arogan. Dipimpin oleh CEO David Kearns, Xerox melakukan business-turnaround pada tahun 1983. Proyek pembenahan bisnis yang dinamai Leadership through Quality tersebut menjadikan benchmarking sebagai salah-satu proses utamanya. Semua manager harus melakukan benchmarking ke perusahaan-perusahaan terbaik dunia, dimanapun perusahaan itu berada. Dari situlah, lahir revolusi bisnis internal Xerox, yang membuatnya tetap bertahan dalam persaingin industri fotokopi hingga saat ini.

Tidak semua perusahaan yang aktif melakukan benchmarking bisa memetik sukses seperti Xerox. Bahkan, bisa jadi lebih banyak yang gagal dan berakhir sebagai kegiatan ”sekadar jalan-jalan” ataupun ”kunjungan wisata”. Mengutip Robert J. Boxwell, dalam bukunya Benchmarking for Competitive Advantage (1994), ada tiga hal utama yang membuat aktivitas benchmarking tidak mendatangkan manfaat nyata. Dari pihak perusahaan yang akan dikunjungi dan dipelajari, masih ada yang tidak rela untuk membagikan pengalaman organisasinya kepada perusahaan lain. Mereka menganggap benchmarking hanyalah nama manis dari ”business spying” atau mata-mata bisnis. Perusahaan-perusahaan seperti ini takut ilmu dan praktek bisnisnya dicuri oleh pihak lain, sekalipun itu bukan kompetitor usahanya. Kalaupun akhirnya perusahaan ini menerima kunjungan dari perusahaan lain, yang dibagikan hanyalah sekadar company-profile yang tidak mendatangkan banyak pembelajaran.

Sementara dari pihak perusahaan yang melakukan benchmarking, seringkali benchmarking dijalani dengan mentalitas ”copycat” dan ”not invented here”. Mereka yang memiliki sikap copycat alias meniru mentah-mentah, umumnya malas berpikir dan hanya siap menjiplak apa yang dilakukan oleh perusahaan lain. Mereka juga acapkali menganggap praktek dan sistem manajemen di perusahaan yang dikunjungi merupakan resep mujarab bagi permasalahan di organisasinya. Akibatnya, mereka seringkali merasa kecewa karena hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Bukankah setiap perusahaan mempunyai konteksnya sendiri-sendiri, yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Sekali lagi, benchmarking adalah proses pembelajaran (learning), bukannya peniruan ataupun penjiplakan (copying).

Sementara, mereka yang terjangkiti sindroma ”not invented here” umumnya adalah mereka yang tidak sepenuhnya ”rela” untuk belajar. Mereka memandang kesuksesan organisasi lain semata-mata sebagai rezeki ilahiah yang hanya cukup untuk dipahami saja, bukannya untuk dipelajari. Sindroma ini seringkali menghinggapi organisasi-organisasi yang menganggap dirinya sukses, dan dengan demikian tidak merasa perlu untuk belajar dari organisasi lain. Benar adanya pepatah bijak ”kekuatan seringkali berhimpitan dengan kelemahan”. Kekuatan organisasi yang tercermin dari kesuksesan dan kehebatannya, seringkali mendatangkan kelemahan dalam bercermin dan belajar.

Benchmarking, pada akhirnya, adalah sebuah proses pembelajaran. Tanpa kesiapan untuk belajar dan kemampuan untuk mengolah bahan pembelajaran, benchmarking akan berakhir sebagai kunjungan wisata semata.

PERENCANAAN EFEKTIF : 80% EKSEKUSI

Bulan-bulan menjelang akhir tahun, apalagi kegiatan yang paling menyita waktu, kalau bukan aktivitas perencanaan bisnis tahunan? Perencanaan bisnis inilah yang akan dijadikan dasar untuk mengeksekusi setiap langkah operasi perusahaan di tahun yang akan datang. Namun, komentar seorang kolega sangat menarik perhatian saya. ”Sebentar lagi tempat saya mau lakukan annual planning lagi! Saya bingung, hasil planning tahun lalu saja belum dikerjakan, sudah mau bikin mimpi baru lagi. Cape deh...”, tuturnya menyeringai sambil membenturkan punggung tangan ke dahinya yang lebar.

Saya yakin bahwa apa yang dikeluhkan sang teman bukanlah gejala yang khas terjadi di organisasi tempatnya bekerja saja. Apa yang direncanakan berbeda jauh alias ”gak nyambung” dengan apa yang dilakukan. Rencana dibuat bagai mimpi tak berpijak di bumi, sehingga orang merasa sah-sah saja bila tak mampu menggenapinya secara nyata. Kalaupun terjadi kegagalan ataupun penundaan eksekusi rencana yang telah dibuat, umumnya orang sudah siap dengan segudang alasan untuk membela diri.

Lembar rencana kerja sendiri hanyalah berkas agenda yang tak ada manfaat nyata, apabila proses perumusannya tidak dilakukan dengan benar. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika guru manajemen, Peter Drucker, berkata ”Plan is worthless, but planning is invaluable”. Dalam bukunya yang bertajuk Getting Result (2001), Clinton O. Longenecker dan Jack L. Simonetti mengungkapkan beberapa kekeliruan yang lazim terjadi dalam proses perencanaan, yang membuat kegiatan itu berujung sekedar sebuah ”plan”, bukannya ”planning”. Saya akan memfokuskan kepada tiga faktor saja, yang diringkas dengan istilah : ketidak-seriusan, ketidak-pedulian dan ketidak-cermatan.

Ketidak-seriusan muncul tatkala kita membuat rencana untuk keperluan formalitas saja, yakni semata untuk memenuhi kalendar kerja rutin belaka. Yang penting ada berkas rencana kerjanya secara fisik, kalau perlu dijilid dengan sampul tebal yang mewah. Urusan isi menjadi perkara yang tak penting, dan jika perlu tinggal copy-paste dari berkas tahun sebelumnya, dengan penyesuaian seadanya terhadap angka-angka yang dicantumkan. ”Buat apa berpikir keras, toh pada saat eksekusi di lapangan semuanya juga pasti berubah lagi!”, demikian seloroh yang sering kita dengar untuk menjustifikasi sikap ketidak-seriusan ini.

Ketidak-pedulian muncul tatkala pihak yang menyusun rencana berbeda pihak yang akan mengeksekusinya. Tuntutan pekerjaan yang bersifat lintas-fungsi, seringkali menyebabkan lahirnya ”joint-plan” atawa rencana-bersama. Sebagai misal, bisa saja bagian pemasaran ikut terlibat dalam penetapan rencana produksi, dan sebaliknya bagian produksi juga bisa mempengaruhi rencana kerja bagian pengadaan-bahan (procurement). Atau, bisa juga terjadi saat seorang atasan secara sepihak menetapkan rencana kerja kepada anak-buahnya. Ketika seseorang tidak merasa menjadi bagian langsung dari rencana yang dibuat, acapkali muncul pikiran semena-mena. ”Buat apa kita pusing-pusing, toh yang akan menjalani orang lain. Dia donk yang nanti harus memikirkan detailnya”, begitu kira-kira isi pikiran para perencana yang tidak peduli ini.

Sementara, ketidakcermatan hadir saat perubahan berjalan begitu cepat dan luput dari pengamatan kita. Akibatnya, rencana kerja di buat di atas landasan asumsi yang rapuh dan data yang tidak akurat. Arus perubahan yang cepat menuntut seorang perencana harus senantiasa melakukan pembaharuan atas asumsi dan data yang digunakan. Jika tidak, proses perencanaan yang terjadi tidak akan menghasilkan arah bagi langkah perusahaan di masa yang akan datang, melainkan sekedar melahirkan catatan sejarah masa lampau yang tak bermakna.

Lebih jauh, Longenecker dan Simonetti juga mengingatkan bahwa proses perencanaan yang efektif semestinya mengikuti alur : ready, aim dan fire. Ready menunjukkan kesiapan kita, bukan saja untuk menyusun, namun terlebih-lebih untuk ”menghayati dan menghidupi” rencana yang dibuat. Aim, menunjukkan kejelasan kita dalam menetapkan sasaran atau tujuan yang akan kita capai. Dan, Fire menunjukkan kemampuan kita untuk menjabarkan langkah-langkah konkret yang diperlukan untuk menggapai sasaran tersebut. Banyak proses perencanaan yang dijalani dengan langsung meloncat kepada perumusan sasaran (aim) dan penjabaran langkah-tindakan pencapaiannya (fire), tanpa membangun kesiapan (ready) untuk menjalankannya. Wacana kesiapan ini seringkali kita kenal dengan istilah ”komitmen".

Filosofi manajemen Jepang percaya bahwa ”effective planning is 80% execution”. Artinya, proses perencanaan yang efektif sebenarnya telah membantu anda mencicil proses eksekusinya, bahkan hingga tahapan 80%. Namun, itu hanya berlaku jika proses perencanaan itu dilandasi oleh readiness ataupun komitmen pelaksanaan yang tinggi. Kalau tidak, ya…akan muncul kembali keluhan sang teman di awal tulisan ini, “planning lagi…planning lagi! Cape deh!”