Selasa, 12 Februari 2008

BENCHMARKING : BUKAN KUNJUNGAN WISATA

Ada istilah yang lazim kita dengar dari kalangan aparat pemerintah dan anggota parlemen, yakni studi banding. Entah sudah berapa banyak uang rakyat yang dibelanjakan untuk kegiatan bertajuk ”studi banding” itu, tanpa rakyat mengerti apa manfaat dan hasil yang dapat dipetik darinya. Di dalam dunia usaha, ada istilah dan aktivitas serupa ”studi banding” yang lazim disebut benchmarking. Mulai akhir 1990-an hingga saat ini, benchmarking seolah-olah menjadi sarapan wajib bagi perusahaan yang ingin maju dan berdaya-saing tinggi. Setiap kali ada hal baru yang hendak digarap, selalu diserukan agar dilakukan benchmarking ke perusahaan lain yang sudah berpengalaman terlebih dahulu. Sama halnya, setiap kali ada perusahaan yang sukses dalam menjalankan sebuah inisiatif dan meluncurkan suatu produk, perusahaan-perusahaan lainnya beramai-ramai ingin melakukan benchmarking ke sana.

Apa sebenarnya benchmarking, hingga saat ini menjadi salah-satu mantra sakti bagi kebanyakan organisasi modern? Ternyata, istilah yang awalnya diperkenalkan oleh para penggiat manajemen mutu (quality management) tersebut memiliki definisi yang begitu bervariasi, tergantung referensi mana yang anda baca. Namun, semua ragam definisi tersebut bersepakat bahwa tujuan utama benchmarking adalah ”learning from others” atawa ”belajar dari organisasi lain”. Hampir semua perusahaan Fortune-500 melakukan benchmarking untuk menjaga dan meningkatkan daya-saingnya. Salah-satu cerita sukses benchmarking kelas dunia yang menjadi ilham bagi perusahaan-perusahaan lainnya untuk melakukan hal yang sama adalah Xerox Story. Perusahaan mesin fotokopi yang begitu berjaya dan menikmati monopoli bisnis pada era 1960-70an, telah berkembang menjadi organisasi yang gemuk, lamban sekaligus arogan. Dipimpin oleh CEO David Kearns, Xerox melakukan business-turnaround pada tahun 1983. Proyek pembenahan bisnis yang dinamai Leadership through Quality tersebut menjadikan benchmarking sebagai salah-satu proses utamanya. Semua manager harus melakukan benchmarking ke perusahaan-perusahaan terbaik dunia, dimanapun perusahaan itu berada. Dari situlah, lahir revolusi bisnis internal Xerox, yang membuatnya tetap bertahan dalam persaingin industri fotokopi hingga saat ini.

Tidak semua perusahaan yang aktif melakukan benchmarking bisa memetik sukses seperti Xerox. Bahkan, bisa jadi lebih banyak yang gagal dan berakhir sebagai kegiatan ”sekadar jalan-jalan” ataupun ”kunjungan wisata”. Mengutip Robert J. Boxwell, dalam bukunya Benchmarking for Competitive Advantage (1994), ada tiga hal utama yang membuat aktivitas benchmarking tidak mendatangkan manfaat nyata. Dari pihak perusahaan yang akan dikunjungi dan dipelajari, masih ada yang tidak rela untuk membagikan pengalaman organisasinya kepada perusahaan lain. Mereka menganggap benchmarking hanyalah nama manis dari ”business spying” atau mata-mata bisnis. Perusahaan-perusahaan seperti ini takut ilmu dan praktek bisnisnya dicuri oleh pihak lain, sekalipun itu bukan kompetitor usahanya. Kalaupun akhirnya perusahaan ini menerima kunjungan dari perusahaan lain, yang dibagikan hanyalah sekadar company-profile yang tidak mendatangkan banyak pembelajaran.

Sementara dari pihak perusahaan yang melakukan benchmarking, seringkali benchmarking dijalani dengan mentalitas ”copycat” dan ”not invented here”. Mereka yang memiliki sikap copycat alias meniru mentah-mentah, umumnya malas berpikir dan hanya siap menjiplak apa yang dilakukan oleh perusahaan lain. Mereka juga acapkali menganggap praktek dan sistem manajemen di perusahaan yang dikunjungi merupakan resep mujarab bagi permasalahan di organisasinya. Akibatnya, mereka seringkali merasa kecewa karena hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Bukankah setiap perusahaan mempunyai konteksnya sendiri-sendiri, yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Sekali lagi, benchmarking adalah proses pembelajaran (learning), bukannya peniruan ataupun penjiplakan (copying).

Sementara, mereka yang terjangkiti sindroma ”not invented here” umumnya adalah mereka yang tidak sepenuhnya ”rela” untuk belajar. Mereka memandang kesuksesan organisasi lain semata-mata sebagai rezeki ilahiah yang hanya cukup untuk dipahami saja, bukannya untuk dipelajari. Sindroma ini seringkali menghinggapi organisasi-organisasi yang menganggap dirinya sukses, dan dengan demikian tidak merasa perlu untuk belajar dari organisasi lain. Benar adanya pepatah bijak ”kekuatan seringkali berhimpitan dengan kelemahan”. Kekuatan organisasi yang tercermin dari kesuksesan dan kehebatannya, seringkali mendatangkan kelemahan dalam bercermin dan belajar.

Benchmarking, pada akhirnya, adalah sebuah proses pembelajaran. Tanpa kesiapan untuk belajar dan kemampuan untuk mengolah bahan pembelajaran, benchmarking akan berakhir sebagai kunjungan wisata semata.

Tidak ada komentar: